Saturday, September 13, 2008

Catatan Menjelang Ajal II

Jakarta, 7 Desember 1958

Hari ini aku berumur 25 tahun, dan pada hari ini pula aku melamar Ros untuk menjadi istriku.. Keluarga besar orang tuaku datang bersama barang-barang seserahan yang sudah ku persiapkan selama lebih dari satu minggu. Dan waktu lebih dari dua bulan untuk meyakinkan orang tuaku bahwa aku benar-benar ingin menikahi Ros, wanita yang paling aku cintai.

Jam 11.45 tepat Ros diizinkan oleh ayahnya untuk menerima lamaranku. Memang untuk orang tua Ros aku sudah melakukan penjajakan lebih dulu, jadi ketika lamaran dilaksanakan aku sudah tahu bahwa keluarga Ros akan menerima lamaranku. Alhasil, aku bertunangan dengan Ros untuk menikah 2 bulan lagi.

Jakarta, 8 Februari 1959

Hari ini aku menikah dengan Ros. Acaranya berlangsung meriah, undangan yang datang cukup banyak, teman-teman satu barak dan seniorku di Angkatan Darat tak ada yang absen, semuanya hadir, sahabat-sahabatku sejak kecil pun lengkap. Tapi di tengah-tengah keramaian dan kemeriahan acara akad dan resepsi pernikahanku yang juga dimeriahkan dengan pertunjukan lenong “Pak Murah” sesungguhnya hatiku merasa sedih, karena ayah tercinta meninggal tepat sehari sebelum acara ini berlangsung.

Sebetulnya aku ingin mengundur acara pernikahanku, tapi sesaat sebelum meninggal ayah berwasiat kepada seluruh keluarga untuk tidak menunda acara pernikahanku, supaya dia bisa tenang katanya.

Banyak tamu-tamu yang tidak berasal dari lingkungan sekitar rumahku tidak tahu bahwa ayah sudah meninggal kemarin. Hanya orang-orang terdekat di keluargaku dan keluarga Ros yang tahu kalau ayah sudah meninggal. Dan mereka semua berusaha memancarkan wajah gembira walaupun hatinya sedang bersedih, termasuk aku, Ros, ibu dan adik-adikku. Tapi akulah yang paling bersedih hari itu, karena ayah tidak ada di sampingku di hari pernikahanku.

Pontianak, 22 Maret 1962

Aku sedang dalam penugasan, sudah tiga minggu aku tidak bertemu dengan Ros. Hanya bertemu lewat surat, yang kukirim tiap hari.

Dalam beberapa suratnya terakhirnya dia bilang kalau dia sudah telat datang bulan, dan dari surat yang paling terakhir dia menyertakan hasil test di laboratorium rumah sakit tempatnya bekerja, yang menyatakan bahwa Ros sedang mengandung anakku yag pertama. Aku senang sekali, yang telah kutunggu selama lebih dari dua tahun akhirnya datang juga. Setelah komitmen untuk tidak punya anak selama dua tahun akibat pekerjaan dan karir Ros sebagai perawat di rumah sakit Angkatan Darat di Jakarta Pusat, serta penugasanku keluar kota yang semakin sering, akhirnya Ros hamil. Hati ku sangat senang dibuatnya. Khayalanku melayang dan sadar akan menjadi seorang ayah membuat aku lompat kegirangan dalam kamar mess.

Banda Aceh, 10 Juli 1962

Ros keguguran. Aku sangat terpukul, remuk rasanya hatiku mendapat kabar lewat telegram yang dikirim adik iparku yang mengatakan Ros keguguran. Dikamar mess aku tak sanggup lagi bergerak, untuk bernafas pun rasanya sulit.

Jakarta, 5 Agustus 1969

Sudah satu bulan ini aku dan Ros sering berselisih. Kami berdua jadi mudah naik pitam. Hampir tiap hari kami adu mulut bahkan sampai memutuskan untuk pisah ranjang. Dengan alasan untuk menenangkan diri. Kebetulan , dua hari lagi aku tugas ke Medan. Dan aku berharap dengan terpisahnya kami untuk sementara akan membuat aku dan Ros dapat berpikir dengan jernih dan tidak terburu-buru mengambil keputusan.

21 September 2004

Ros baru saja pulang dari pasar membeli bahan-bahan makanan untuk catering pesanan sebuah perusahaan yang mengadakan pertemuan di hotel dekat rumah kami. Tidak seperti biasanya, aku tidak bisa mengantar dia ke pasar, karena ada urusan dengan para pensiunan dalam kesatuanku dahulu.

Ros nampak kelelahan, mukanya pucat, entah apa yang terjadi padanya di pasar tadi. Aku tanya padanya apakah dia pergi ke pasar sendirian, dan dia menjawab tidak. Dia bilang kalau dia ditemani oleh Yanti, anak tetangga yang sudah seperti anak kami. Aku tenang setelah mendengar bahwa Ros mengajak Yanti bersamanya. Lalu aku masuk ruang kerjaku, untuk melanjutkan menulis novel yang sebentar lagi akan selesai. Tak lama, terdengar suara Yanti berteriak. Aku hampiri suara tersebut. Betapa kagetnya aku ketika melihat Ros sudah tegeletak di lantai dapur. Segera kuambil kunci mobil dan kusuruh Yanti memanggil beberapa tetangga untuk membantu mengangkat Ros ke dalam mobil. Setelah para tetangga datang, kami segera mengangkat Ros kedalam mobil lalu membawanya ke rumah sakit terdekat.

Ros terkena Stroke, itu yang kudengar dari Dokter.

Mulai hari ini Ros terbaring tak berdaya di pembaringan rumah sakit.

Koma.

24 October 2004

Sudah satu bulan Ros terbaring di pembaringan rumah sakit. Tidak menunjukkan perkembangan berarti. Hampir setiap hari aku menemani Ros yang terbaring. Aku akan hanya pergi jika mengurus obat dan administrasi rumah sakit, Yanti pasti menggantikanku jika aku tidak bisa menemani Ros. Aku hampir bosan menanti kembalinya Ros dari koma. Tuhan sudah berkali-kali aku datangi dalam shalatku, doaku pun tidak pernah putus. Tapi tak ada perubahan berarti. Harapanku sudah menipis. Asaku semakin lemah.

28 Desember 2004

Lebih tiga bulan sudah aku menunggu Ros kembali dari tidur nyenyaknya. Lagi-lagi tak ada perkembangan yang berarti, hanya jempol kakinya yang terlihat goyang-goyang.

Aku bingung, aku takut akan kehilangan Ros, cuma dia yang ada untuk menemani hidupku. Perjalanan panjangku penuh dengan suka dan duka bersama dia. Aku tidak tahu apakah aku sanggup melewati masa tuaku tanpa dia ada di sampingku. Aku tidak punya anak. Hanya tetangga yang sedikit peduli. Tanpa Ros aku takkan kuat kukira.

Tuhan Aku kira aku tak sanggup untuk menunggu lebih lama lagi. Tak ada harapan bagiku untuk tetap menunggu Ros yang sudah setengah kau ambil. Aku harap melalui tali ini aku bisa meninggalkan dunia fana ini dan bertemu dengan Ros di alam sana. Maaf kan aku Tuhan…..

28 Desember 2005

Argha sudah hampir satu tahun meninggalkan aku. Aku tahu dia sangat merindukanku, setelah tiga bulan lebih aku membiarkannya menungguku. Tapi sekarang aku yang lebih merindukannya.

Alhamdulillah Yanti diizinkan oleh orang tuanya untuk tinggal bersamaku yang tidak jauh dari rumah orang tuanya.

Argha kini hanya bisa kupandang lewat foto-fotonya. Novelnya tak terselesaikan.

Tunggu aku di sana Argha. Akan kulanjutkan amanah Tuhan sebelum ku temukan dirimu.

Catatan Menjelang Ajal

Pagi Menjelang Mati
Aku masih bisa menghirup udara dengan bebas, sampai kamu datang dan meludahiku dengan kata-kata manismu. Aku juga masih bisa melihat dengan jelas semua yang ada di sekitarku sejak ku buka kelopak mataku hingga kamu datang dan menutup pandangku. Sayang, aku tidak pernah menyesali semua, aku juga tak pernah marah, karena di hatiku masih berkuasa cinta.
Pagi ini aku masih harus menjual suaraku, setidaknya aku harus punya cukup tenaga untuk menaiki tangga baja jembatan penyebrangan. Dan yang paling panting aku harus punya cukup tenaga untuk lompat dan membanting badanku ke aspal.

Siang Menjelang Mati
Suaraku lumayan laku terjual, walaupun hasilnya tak sebanyak dua minggu lalu, tapi ini semua sudah cukup untuk mengisi tenaga, bahkan masih lebih.
Siang ini adalah siang yang baik buatku, penghasilanku hari ini adalah yang terbaik dari empat belas hari terakhir.
Tuhan masih baik padaku, padahal aku akan mengingkariNya lagi sore ini. aku sempat terpikir untuk membatalkan niatku menjemput ajal. Tapi, masalahku terlalu berat untuk aku tahan sendiri. Aku sering mendengar bahwa Tuhan tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan hambanya. Aku juga sudah sering kali merenungi kata-kata itu, tapi nampaknya aku terlalu lemah untuk menghadapi ujian yang Dia turunkan padaku.

3 Jam Menjelang Mati
Aku baru saja selesai mengisi perutku diwarung pinggir jalan yang sebetulnya tidak sehat. Nasi ditemani tempe, perkedel, kerang dan sambal terasi menjadi penghuni terakhir perutku, ditambah lagi segelas kopi yang sedang kuhabiskan sambil melepas lelah dan melamun menatap mobil-mobil mewah yang lewat.
Baru saja akan ku raih teguk terakhir dari kopi ku, tiba-tiba seseorang yang lewat menabrakku. Gelasku terjatuh, dan kopi tegukan terakhirku meresap kedalam tanah. Aku marah, tapi tak ada yang bisa aku lakukan untuk ekspresikan marahku, tak ada nyali mungkin. Hanya geraman kecil yang tidak terlalu diperhatikan manusia-manusia di sekitarku.

1½ Jam Menjelang Mati
Bis AC jurusan Blok M sangat sepi, suaraku terbuang sia-sia. Hanya ada sembilan orang di dalam bis. Tempat terakhir aku melepas suara, mungkin sebelum Blok M aku sudah harus menjemput ajalku yang telah ku nanti sepanjang hari ini.
Aku masih duduk di deretan kursi belakang bis terakhir ini, merenungi dosa-dosa yang telah ku lewati tanpa tertebus. Ditambah dosa besar yang akan kulakukan sebentar lagi. Maafkan aku ya Tuhan, aku berniat menjemput ajal sebelum dia menjemputku. Tapi aku yakin ya Tuhan, bahawa semua itu tak pernah lepas dari kehendakmu.
Tak sadar airmata menngalir melalui pipiku, dan orang-orang disekitarku mulai kelihatan tidak nyaman dengan keberadaanku disitu. Mungkin aku dianggapnya orang aneh. Tak menunggu lama, aku segera turun sesaat bis itu berhenti.

60 Menit Menjelang Mati
Sebuah halte kumuh di depan gedung mewah, dan tepat di seberangnya, di tengah dua jalur, sebuah halte lumayan mewah dijaga ketat. Aku lihat orang-orang di dalamnya tidak saling peduli satu sama lain.
Aku duduk di halte kumuh depan gedung mewah itu. Aku kilas balik semua masalahku yang sebentar lagi akan aku tinggalkan. Aku akan terbebas dari masalah-masalahku. Tak perlu ada yang kusedihkan dan bersedih untukku, karena aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi.
Aku naik ke jembatan baja yang tak jauh dari halte tempatku duduk tadi. Aku sudah bersiap untuk lompat, tekadku bulat, tak akan ada yang bisa menghalangiku.

30 Menit Menjelang Mati
Aku sudah di atas jembatan siap untuk menyambut ajal, tapi ketika aku memegang pagar pengamannya, tanganku tiba-tiba menjadi dingin. Suara hatiku terdengar jelas sekali. “Apakah kau yakin ingin menyambut ajalmu sebelum takdir? Tahukah kau bahwa ini dosa besar? Jangan lakukan?”. Akupun melepaskan peganganku pada pagar pengaman jembatan itu. Lalu duduk bersandar disebelah gitarku. “Aku yakin, akan meninggalkan masalah-masalahku dengan menjemput ajal lebih dahulu. Aku tahu ini dosa besar, tapi ini harus kulakukan. Aku kemudian bangun lagi dan bersiap lompat untuk yang kedua kalinya. Aku pegang lagi pagar pengaman jembatan. Tanganku kembali dingin dan sekarang tambah gemetar. Suara hatiku terdengar lagi, “Lakukanlah. Apakah kau cukup punya nyali untuk lompat? Lompatlah, raihlah ajalmu, buktikan kebodohan dan ketolololanmu.” Aku agak gentar, tapi aku yakin inilah saatnya untuk menghentikan hidupku yang bermasalah. Aku ambil ancang-ancang lalu lompat dengan gitar ditanganku. “Aku tidak Bodooooooooooooooooohhhhh…………………………………………….”


Rizki Pradana
26 January, 2005

Belenggu

Aku terbaring di atas pembaringan ini sejak 10 tahun yang lalu. Sejak ayah pulang dengan membawa seribu masalah yang membuat keluarga di rumah semakin terhimpit. Ibu yang sudah dalam keadaan tertekan, semakin tertekan, adikku sudah tidak sekolah. Kami sekeluarga tak punya apa-apa lagi, semuanya menjadi minus. Kepulangan ayah sangat membawa petaka. Entah dari mana dia selama ini. Tapi yang pasti dia sudah tidak kami harapkkan untuk pulang. Ayah tak pernah berhenti meminta uang dari ibu yang sehari-hari mencuci dan menyetrika baju orang lain
Waktu itu aku mabuk, saat melihat ayah memukuli ibu seperti orang kesetanan, rintihan dan teriakan ibu sudah tak terdengar lagi. Tangan-tangan ayah tak henti menghantam kepala, muka, dada, rahim, punggung sedangkan kakinya semakin gila menghantam perut ibu saat ibu tersungkur ke lantai tanah dalam rumah kami. Aku memang mabuk, tapi aku tak rela orang yang melahirkanku di pukuli oleh orang yang dicintainya hidup dan mati. Kuambil botol kecap yang ada di meja, lalu kuhantamkan ke arah kepala ayah, tapi tiba-tiba, kakiku tersangkut sesuatu, aku jatuh dan ayah berhasil menghindar, sedangkan botol itu nyasar ke kepala ibu yang sedang merintih tak berdaya di atas tanah. Botol itu pecah.
Adikku terbangun dari tidurnya, ayah sudah menghilang entah kemana. Tak ada yang bisa kukatakan sama sekali saat orang-orang kampung datang dan membawaku pergi entah kemana. Aku tak bisa memikirkan apa-apa saat itu selain ibu yang terbaring dengan kepala penuh darah dan kecap, disekitarnya penuh beling botol kecap. Aku tidak pernah tahu ibu masih bernafas atau tidak. Aku juga tidak pernah melihat adikku lagi.
Sudah 10 tahun aku terbaring di sini tanpa ada orang yang kukenal. Yang kuhapal cuma orang yang datang dan pergi mengantarkanku makanan kedalam ruangan ini. Tuhanpun sudah tidak bisa kusembah lagi. Aku sekarang tidak berdaya. Tuhan hanya bisa kusebut-sebut. Tak pernah bisa ku menyembahnya. Badanku suci atau najispun aku tidak tahu, dan aku tidak peduli lagi. Sesekali terbayang wajah ayah terkutuk itu tapi kemudian berganti dengan wajah ibu yang terakhir kali kulihat. Penuh darah, kecap dan beling botol kecap. Dan yang kuingat tentang adikku adalah airmatanya saat melihat ibu yang terhantam botol kecap, mukanya marah, tatapan matanya membuatku takut. Tapi tak ada yang bisa kuperbuat.
Sudah 10 tahun aku tidak melihat cahaya matahari masuk menembus kamarku. Tak ada yang mengelap keringatku. Aku tidak tahu kenapa orang-orang meninggalkanku dalam keadaan seperti ini. Kakiku di belenggu oleh sebuah besi berkarat yang menyatu dengan tempat tidur ini. Aku dibiarkan dalam keadaan yang tidak manusiawi.


Copyright Rizki Pradana
2005

Wednesday, September 3, 2008

ketika harus memilih.....

aku harus memilih
menjadi insan yang beriman....
atau
insan yang.......